KAWANGKOAN|ProNews.id- Salah satu kearifan lokal masyarakat Kawangkoan (Sendangan, Talikuran, Uner, dan Kinali), yang tetap terpelihara sampai saat ini, ada Brantang.

“Brantang adalah kegiatan masyarakat untuk makan bersama dengan keluarga yang berduka,” tulis seorang tokoh masyarakat Kawangkoan, Tenny GM Assa, melalui akun facebook miliknya.

Ia mengatakan, sebelumnya kegiatan Brantang dilaksanakan sehari setelah jenasah dimakamkan. Tapi, ketika dunia dilanda Pandemi Covid 19, kegiatan ini dihentikan, karena mengumpulkan massa.

Kalaupun dilaksanakan, lanjut Tenni, sudah bersamaan dengan ibadah pemakaman. Sebagaimana kesepakatan para tua-tua Kawangkoan (diperkirakan kegiatan sosial ini dimulai di tahun 1960an atau 1970an), kegiatan Brantang akan diawali dengan Minum Pagi Bersama atau Melep Mamoondo.

“Di mana, warga biasanya keluarga berduka dan tetangga, mulai jam 04.00 Wita sudah berada di rumah duka untuk minum bersama. Biasanya yang dibawa adalah air teh dan air kopi serta kue. Keluarga yang membawa saling membagikan kue kepada yg hadir,” tuturnya.

Setelah pukul 05.00 Wita atau lebih sedikit, mereka yang minum pagi bersama keluarga akan pergi ke kubur, biasanya didominasi oleh kaum perempuan. Karena, menurut dia, saat pemakaman jenasah yang prioritas ke kubur adalah kaum pria. Setelah kembali dari kubur, masyarakat mulai mempersiapkan makanan yang akan disajikan dalam kegiatan Brantang.

“Sementara itu, kelebihan dari air teh, air kopi dan kue yang dibawa oleh tetangga akan dikumpul untuk dimakan saat akan memasak atau mendirikan untuk tempat makan bersama,” imbuh Assa.

Tapi, sekarang tenda atau bangsal yang didirikan saat persemayaman jenasah, itu yang akan digunakan untuk kegiatan Brantang. Dikatakannya, keluarga tidak akan mengeluarkan uang untuk berbelanja kebutuhan makanan, itu sudah diatur oleh pemerintah lingkungan (dulu jaga, red) melalui pengelola atau saat ini dilenal dengan kelompok Kerja (Pokja).

Uang yang dibelanjakan, nanti akan diperhitungkan dengan uang yang diberikan masyarakat dengan besaran yang sudah ditetapkan bersama, yakni sekarang rata-rata Rp20 ribu per kepala.

“Tepat pukul 11.00 Wita pemerintah lingkungan akan mengumumkan sekaligus mengundang masyarakat untuk makan,” ujarnya, sembari menambahkan, masyarakat pun dengan suka rela mendatangi rumah duka dan makan bersama.

Setelah makan, mereka akan mendatangi petugas. Petugas akan mencatat nama keluarga dan besaran uang yang diberikan dalam sebuah buku. Buku ini, sambung dia, akan diserahkan bersama uang hasil Brantang pada keluarga berduka saat kegiatan Brantang sudah selesai.

Biasanya pada malam hari, karena bagi masyarakat yang tidak bisa datang pada siang hari, biasanya mereka datang pada malam hari. “Warga yang datang berasal dari 4 desa sekarang kelurahan. Jadi kalau yabg meninggal di Sendangan, selain warga Sendangan juga ada uang berasal dari Talikuran, Uner dan Kinali,” jelas lelaki bernama lengkap Drs. Tenny Gerson Marhaendrik Assa ini.

Biasanya, kalau keluarga itu rajin ke Brantang pasti banyak warga yang hadir. Menurutnya, uang yang dikumpulkan dari kegiatan Brantang, sangat membantu keluarga untuk membuat kubur dan kebutuhan lainnya.

Biasanya yang berlelah selama kegiatan Brantang dan duka akan diundang oleh keluarga untuk beribadah dan makan bersama dalam acara Mingguan.

Selain itu, sebut dia, di Kawangkoan ada wadah organisasi sosial yang dibentuk disetiap desa sekarang kelurahan, yaitu Pinaesaan.

Warga yang ada di kampung atau warga Kawangkoan yang tinggal di luar Kawangkoan wajib menjadi anggota atau didaftarkan oleh keluarga.

“Setiap ada yang meninggal keluarga akan mengumpulkan uang yang sudah disepakati. Misalnya di Kelurahan Sendangan, setiap keluarga menyetor Rp5000,” tukas aktifis gereja berlatar belakang jurnalis ini.

Dana ini diberikan kepada petugas Pinaesaan, yang pembukuannya sesuai tempat domisili (lingkungan). Lanjutnya, keluarga yang berduka dan tercatat sebagai anggota Pinaesaan, tidak akan membayar tanah pekuburan.

Bahkan, untuk menggali kubur, sudah menjadi kewajiban warga di lingkungan dimana ada kedukaan yang dikenal dengan istilah Pontol atau Pontolen.

“Tidak itu saja, pada saat acara pemakaman pengelola Pinaesaan akan menyerahkan uang sesuai kesepakatan kepada keluarga berduka. Di Kelurahan Sendangan sebesar Rp 750.000. Dengan adanya aksi sosial duka ini berkembang ucapan dalam masyarakat, keluarga berduka hanya akan menangisi anggota keluarganya yang meninggal. Tidak menangisi hewan peliharaan dan tanah yang akan dijual untuk membiayai pemakaman. Aksi sosial ini hanya berlaku di Kawangkoan. Dan, menjadi kewajiban bagi kita untuk menjaga, melestarikan dan meneruskan kesetiakawanan sosial ini,” beber Sekretaris III Pucuk Pimpinan Kerapatan Gereja Protestan Minahasa (KGPM) periode tahun 2021-2026 ini, menutup tulisan kepeduliannya terhadap kearifan lokal di Kawangkoan.

[*/Rev]